Analisa anggaran usaha Anda Cara Mudah Menyusun dan Mengevaluasi Anggaran |
Perkembangan
produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali
pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut
dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki
karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba,
menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan,
dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagI hasil.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya
menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam
mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk
konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode
Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan
metode Fee Based Income (FBI).
Sebagai penerima
gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai)
berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad
Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu
akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya
dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah)
merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa
tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Salah satu inovasi
produk yang diluncurkan oleh pagadaian adalah Program Kredit Tunda Jual
Komoditas Pertanian yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan
atas landasan pemikiran bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat
perbedaan harga jual gabah pada saat panen raya. Sasaran utama program ini
adalah membantu petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan
harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen raya, petani selalu menjadi
pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian yang diderita oleh petani pada
saat musim panen akibat anjloknya harga gabah, Perum Pegadaian meluncurkan
gadai gabah. Dengan sistem ini, petani menggadaikan gabahnya pada musim panen,
untuk ditebus dan dijual ketika harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai
gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga
murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra
pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum
Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali
normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sarna ketika menggadaikan
gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen per bulan. Jika selama
batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat
menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah
akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah
Gabah Kering Giling (GKG). Bila
gabah petani bukan gabah kering giling maka petani akan dikenakan proses
penanganan (handling) sebesar
Rp 10 per kg.
Lahirnya Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat
dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu
dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk
mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000
yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.
Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal
16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah
meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis
anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang,
akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah
sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha
syariah.
Konsep
operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas,
efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi
Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian
Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di
bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis
mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai
konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan
nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari
tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang,
Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di
tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi
Pegadaian Syariah.
Operasionalisasi Pegadaian Syariah
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir
bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional
, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang
bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana,
masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai
jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama
(kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup
dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses
yang juga singkat.
Di
samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek
landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki
ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian
konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan
dalam uraian berikut.
Landasan Konsep
Sebagaimana halnya instritusi
yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu
kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun
landasan yang dipakai adalah :
Al-Quran Surat Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan
Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul
bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan
kepadanya baju besi. HR Bukhari dan Muslim
Dari Abu Hurairah r.a.
Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. HR
Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah
Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah
susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah, kecuali
Muslim dan An Nasai
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak
digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena
ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka
air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus
mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim
dan Nasai-Bukhari
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181)
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum :
1. Murtahin
(penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang
rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun
dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh
dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan
perawatannya.
3. Pemeliharaan
dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat
dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar
biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.
5. Penjualan
marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus
memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya,
maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk
melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta
biaya penjualan.
d. Kelebihan
hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban
rahin.
b. Ketentuan Penutup
1. Jika
salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
Teknik
Transaksi
Sesuai dengan
landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua
akad transaksi Syariah yaitu :
1.
Akad Rahn. Rahn yang
dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman
yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak
sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan
hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini
dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak
milik nasabah yang telah melakukan akad.
Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan
2) Yang berpiutang (murtahin).
b. Sighat (ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian
Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah
menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di
tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses
penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat
penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini
dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa
bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini
dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan
barangnya di Pegadaian.
Adapun
ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1.
Akad. Akad tidak mengandung syarat
fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan
tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan
tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun
(barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak
terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
4. Jumlah
maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu
rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin
dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya
penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat
memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan
harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan
disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan
nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan
perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang
dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan
harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman
yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah
melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan :
1. Jangka
waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
2. Nasabah
bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari
kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat
melunasi pinjaman.
3. Membayar
biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan
uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
·
melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman
kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
·
mengangsur uang pinjaman dengan membayar
terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
·
atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih
dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman
uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu
melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian
melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai
penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan
yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk
mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan
kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Pendanaan
Aspek syariah tidak hanya
menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi
nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba.
Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian
disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak
ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan
kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal
kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati
perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah
dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :
1. Di
Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut
sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian
konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan
jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional,
keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan
penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia.
Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan
barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.